Kotagede sebagai bagian wilayah kota Jogja, khas dengan berbagai produk kerajinan tembaga, kuningan, perak dan logam lainnya. Karena banyaknya pengerajin perak dan tembaga, Kotagede dikenal sebagai “Kota Perak” hingga kini. Namun dibalik hingar-bingar kebesaran nama kerajinan tersebut, tahukah anda kisah Muhammadiyah di Kotagede?
Keberadaan Muhammadiyah di salah satu kecamatan kota Jogja ini juga memiliki sejarah sama dengan kerajinan disana. Bedanya organisasi islam tersebut mengalami masa-masa perjuangan baik dalam hal dakwah di jantung Kerajaan Mataram, hingga berhadapan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sehingga bisa dikatakan perkembangan kerajinan disana terus naik secara signifikan. Bahkan hari ini tidak sekedar produk dari tembaga dan perak, namun banyak juga produsen souvenir perusahaan eksklusif. Hal tersebut membuat Kotagede semakin unggul dalam hal industri kerajinan.
Sedangkan Muhammadiyah mengalami dinamika naik turun sebelum seperti saat ini. Namun walaupun demikian dakwah tetap bisa berjalan dalam jantung kerajaan Mataram. Hal tersebut karena dakwah yang dilakukan bukanlah menyinggung apalagi menggunakan kekerasan.
Sebagai contoh adalah saat Muhammadiyah berhadapan dengan organisasi lama masyarakat muslim disana. Muslim Kotagede waktu itu memiliki organisasi lokal bernama Syarekatul Mubtadi. Walaupun memiliki pandangan berbeda, Muhammadiyah tidak melakukan intervensi namun mendukung kegiatan mereka. Dan akhirnya mereka bergabung pada tahun 1923.

Muhammadiyah Di Jantung Kerajaan Mataram
Dalam pemerintahan Sultan Agung, Kerajaan Mataram dikenal sebagai kerajaan Islam. Sehingga mayoritas rakyat dalam kepemimpinannya adalah orang islam. Namun walaupun demikian, keislaman penduduknya bukanlah keislaman yang menjalankan syariat islam secara 100 persen.
Hal tersebut merupakan bagian dari cara yang dilakukan oleh Sultan Agung untuk menjaga persatuan. Dalam buku karangan Joko Darmawan yang berjudul “ Trah Raja-raja Mataram Di Tanah Jawa”, terdapat tulisan yang menjelaskan kesadaran Sultan Agung dalam menjaga persatuan. Hal tersebut dilakukannya dengan cara menghargai tradisi dan budaya lama yang masih dijalankan oleh warganya.
Maka walaupun kebesaran Mataram waktu itu memberikan kesejahteraan pada warganya. Bahkan kesejahteraan tersebut dimuat dalam berbagai artikel oleh penyedia jasa SEO bulanan di banyak website. Kesejahteraannya adalah yang menyangkut kehidupan sosial, bukan soal praktek keislaman rakyat Mataram.
Sedangkan Muhammadiyah adalah organisasi islam yang bergerak dalam dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Selain itu gerakan dakwah yang dilakukan adalah untuk memberantas khurafat, tahayul dan bid’ah. Lantas bagaimana cara dakwah tersebut dapat diterima oleh warga Kotagede yang masih menjalankan agama islam peninggalan leluhur mereka?
Walaupun dakwah yang diusung seperti tersebut diatas, para pendahulu Muhammadiyah bukanlah orang-orang yang kolot atau keras kepala. Mereka melakukan dakwah dengan cara yang santun lagi halus. Adanya praktek seperti tahayul ataupun bid’ah tidak serta merta dihukumi salah bahkan dihujat sebagai kesesatan atau kekufuran.
Hal tersebut dicontohkan oleh pendiri Muhammadiyah langsung, yaitu K.H Ahmad Dahlan. Walaupun beliau bisa saja mengenalkan Muhammadiyah secara langsung karena beliau juga priyayi, namun cara tersebut tidak beliau lakukan. Selain ingin melihat karakter muslim Kotagede secara mendalam, beliau juga ingin masyarakat Kotagede menilai langsung organisasi yang beliau bawa.

Dalam buku “Antara Daerah Dan Negara : Indonesia Tahun 1950-an”, disana dijelaskan bahwa K.H Ahmad Dahlan sengaja mendekati Syarekatul Mubtadi. Selain organisasi tersebut lebih tua dari organisasi beliau, lewat pintu inilah harapan bahwa rakyat Kotagede akan menilai agama islam yang semestinya dari beliau dan murid-muridnya.
Maka dari itu mengenalkan Muhammadiyah di jantung Kerajaan Mataram memang membutuhkan waktu yang lama. Perlu proses tukar pendapat dan pengalaman. Maka tidak mengherankan besarnya Muhammadiyah di Kotagede dengan bersatunya Syarekatul Mubtadi sama persis dengan tahun wafatnya beliau yaitu 1923.
Sejak saat itu estafet perjuangan yang dirintis Muhammadiyah tersebut semakin baik dan menguat di Kotagede. Bahkan cara dakwah yang lembut serta santun juga diteruskan oleh kader selanjutnya. Banyak kader hebat yang terkenal memiliki kepiawaian dalam berdakwah tanpa kekerasan. Diantaranya yang memiliki nama harum hingga kini adalah Pak AR. Fachrudin.
Muhammadiyah Kotagede VS PKI
Dalam berbagai literasi ditemukan bahwa Kotagede “pernah merah” pada masanya. Masuknya Partai Komunis Indonesia disana ditengarai karena dibawa oleh seorang tokoh Sarekat Islam (SI) dari Surakarta. Hal tersebut tertulis dalam buku “ Ngesuhi Deso Sak Kukuban : Lokalitas, Pluralisme, Modal Sosial Demokrasi”.
Sejak saat itu PKI mendapatkan simpati dan dukungan besar dari rakyat Kotagede. Bahkan partai komunis tersebut pernah mengadakan kongres disana, yakni pada tahun 1924. Idealisme begitu menarik perhatian manusia, karena itu pengenalan ideologi selalu menarik banyak masa. Sedangkan saat ini hanya ada tiga ideologi besar di dunia yaitu Sosialis/Komunis, Kapitalis dan Islam.

Sedangkan Muhammadiyah adalah organisasi yang memegang Islam sebagai ideologi. Sehingga memperjuangkan agama Islam sama saja akan membenturkannya dengan Komunis. Sebagai ormas Islam yang istiqomah dalam dakwah, Muhammadiyah mau tidak mau berhadapan dengan PKI.
Beberapa benturan yang pernah terjadi adalah adu opini dan pengaruh. Beberapa kali keduanya saling menarik simpati rakyat dengan kesenian. Waktu itu Muhammadiyah terkenal memiliki kepiawaian dalam kesenian melalui kader mudanya, yaitu Naisyatul Aisyah (NA) dan Pemuda Muhammadiyah.
Selain menempatkan opini pada kesenian seperti kethoprak, NA saat itu bahkan punya ketrampilan di atas angin. Keterampilan angklung milik NA selalu mampu menarik perhatian dan simpati masa. Sehingga hal tersebut membuat PKI tidak mau kalah.
Dalam buku “Suara di Balik Prahara”, setidaknya ditemukan beberapa sanggar kesenian sebagai bukti pertempuran pengaruh lewat kesenian tersebut. Yang paling terkenal adalah Lembaga Kebudayaan Rakyat yang dekat dengan PKI dan Sanggar Bulus Kuning milik Muhammadiyah.
Perang diantara keduanya memang belum sempat terjadi adu fisik hingga pertumpahan darah. Namun tetap efek dari perang dingin tersebut begitu terasa bagi masyarakat Kotagede. Muhammadiyah benar-benar setelah orang-orang PKI ditangkapi karena tragedi G 30/S PKI.
Sejak saat itu Muhammadiyah semakin lekat di mata rakyat Kotagede. Bahkan hingga kini kadernya semakin banyak, amal usaha juga semakin bermunculan. Bahkan secara umum muslim disana adalah mayoritas dan memiliki kekuatan yang besar saat ini.